Peringatan: Artikel ini memuat bocoran akhir cerita film.
“Kamu masih nggak mau punya anak, Ti?” tanya Turah kepada Kanti, istrinya, dalam Bahasa Jawa berdialek Tegal.
Kanti membalikkan tubuhnya yang terbaring tempat tidur hingga membelakangi suaminya. Ia menolak keras-keras keinginan suaminya itu. Memiliki anak dan membiarkannya tumbuh dalam kondisi hidup mereka saat itu, menurut Kanti, tidak ada bedanya dengan menguburnya hidup-hidup.
Di gubuk lain, tak jauh dari gubuk Turah dan Kanti, Jadag mengamuk. Rum, istrinya, ogah melayani saat birahi Jadag sedang tinggi-tingginya. Rum malah menyuruh suaminya, yang kerap mabuk dan keranjingan nomor togel, untuk bekerja.
Turah, Jadag, dan tak sampai selusin keluarga lainnya dalam Turah (2016) dikisahkan tinggal di atas “tanah timbul” yang menjelma jadi Kampung Tirang. Film ini tidak terang-terangan menyebut lokasi Kampung Tirang sebagai tanah timbul. Istilah itu saya dapatkan setelah googling tentang film ini.
Di awal cerita, seorang anak Kampung Tirang baru saja meninggal dunia karena demam yang belum sempat terdiagnosis penyebabnya. Belum sempat, karena warga tak punya akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai. Selain fasilitas kesehatan, air bersih dan listrik juga menjadi barang mewah di sana. Seorang anak terlihat melintas memikul sebatang kayu yang dihubungkan dengan dua jeriken berisi air bersih di kanan-kirinya, untuk dibawa pulang. Air bersih yang dibeli dari kampung sebelah.
Saat senja, lampu-lampu minyak dinyalakan, sementara menunggu Turah menghidupkan satu generator yang menyediakan listrik untuk seluruh kampung. Generator itu pun bukan gratis. Bahan bakarnya disuplai atas “kemurahan hati” Darso, tuan tanah yang mengklaim bahwa “tanah timbul” tempat kampung itu berada adalah miliknya. Akan tetapi, Jadag digambarkan menolak begitu keras terhadap penguasaan Darso atas tanah itu.
Tanah ini tidak bertuan, bukan milik Darso. Tidak sepantasnya kita membayar sewa kepadanya, sedangkan kita diperas bekerja tanpa bayaran. Uang yang dia berikan itu bukan sedekah, itu bayaran kita bekerja. Begitu Jadag terus-terusan mengingatkan warga kampung.
Sayangnya, meski secara hukum tanah timbul dinyatakan sebagai tanah yang langsung dikuasai oleh negara, mereka pun tak bisa berharap banyak pada penguasa. Para penguasa hanya mengingat warga Kampung Tirang menjelang pemilu dan selekasnya menutup telinga saat mereka menagih janji-janji kampanye. Maka, sekeras apa pun Jadag berteriak, Darso tetap dianggap penyelamat oleh warga lain.
Jadag memang terlihat lebih dominan sebagai pusat cerita. Namun, sebagaimana judulnya, film ini mengambil sudut pandang Turah, yang relatif lebih netral, yang nrimo dengan kondisi Kampung Tirang. Penonton dibiarkan menentukan sendiri, kepada siapa mereka mau berpihak. Jadag, Turah, atau bahkan Darso?
[AWAL BOCORAN] Turah, dan segenap warga selain Jadag, bersikukuh bahwa hidupnya di Tirang sudah cukup. Masih bisa makan, masih punya tempat berteduh, masih bisa sekadar bertahan hidup. Semua berubah ketika Jadag diketahui berselingkuh dengan istri Darso, yang dianggapnya sebagai pembalasan atas hidupnya yang serba-susah dan hidup Darso yang serba-lebih. Jadag juga mulai berani menyuarakan protesnya terhadap berbagai ketidakdilan yang dialami warga, termasuk juga membongkar muslihat Pakel si sarjana penjilat, tangan kanan Darso.
Namun Turah yang sebegitu nrimo, yang sudah “dinaikpangkatkan” menjadi pengawas kampung dan dinaikkan upahnya oleh Darso, akhirnya tak tahan juga. Di akhir cerita, setelah menyaksikan sendiri bagaimana Jadag menjadi korban dari kekuasaan dan permainan politik, Turah bergegas mengajak istrinya untuk berkemas dan meninggalkan kampung. Entah apa yang mendorong Turah. Entah nuraninya sendiri atau celurit yang mengalung saat ia ketahuan menjadi saksi pembunuhan Jadag. [AKHIR BOCORAN]
Sutradara Wicaksono Wisnu Legowo tak merasa perlu meromantisasi kemiskinan. Melihat Jadag, penonton bisa dengan mudah berkomentar, “Pantas saja miskin. Nggak mau kerja, cuma judi dan mabuk melulu.” Meski latar suara kerap diisi dengan azan dan lantunan orang mengaji, tak satu pun warga terlihat beribadah. Dan penonton, lagi-lagi bisa dengan mudah berpendapat, “Pantas hidup mereka susah. Ibadah saja nggak mau.”
Namun, inilah realitas yang sengaja ditampilkan Wicaksono. Kemiskinan sedemikian kejam tanpa ampun, kondisi yang bahkan Tuhan pun seakan enggan mengubahnya. Kemiskinan tak selalu melahirkan Keluarga Cemara. Pun menjadi Keluarga Cemara tak serta merta bisa menanggulangi kemiskinan. Meski ya, boleh-boleh saja kalau ternyata Keluarga Cemara itu benar ada.
Turah tak menawarkan solusi. Toh memang bukan itu tugasnya. Turah hanya menampar publik yang kian abai dengan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya getir, tapi juga rumit. Bahwa kemiskinan tak bisa dientaskan semata dengan pembagian sembako. Bahkan jargon “pengentasan kemiskinan” pun kini mulai hilang ditelan wacana penistaan agama dan perdebatan mengenai etnis mana yang paling berhak mendiami negara ini. Sehingga kemudian publik lupa, bahwa hal-hal itu terlalu mewah untuk dibicarakan oleh orang-orang seperti warga Kampung Tirang, yang bahkan tak mendapat akses terhadap hak-hak dasar untuk hidup layak; air, listrik, makanan, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.