Setelah lima belas hari bertahan di hanya satu layar studio, Tiga Dara hasil restorasi 4K mengakhiri masa tayangnya di Bandung. Bukan waktu yang lama jika dibandingkan dengan waktu penayangan delapan minggu yang dicapainya dulu, ketika dirilis 59 tahun lalu. Namun, sedikit lebih lama dari dugaan saya yang hanya sepuluh hari saja. Beruntung, saya sempat menikmatinya di minggu pertama pemutaran.
Tiga Dara berkisah tentang tiga gadis muda bersaudara, yang tinggal bersama sang ayah, Sukandar (Hassan Sanusi) dan nenek mereka (Fifi Young). Ibu mereka sudah meninggal. Nunung (Chitra Dewi), anak gadis tertua, sudah berumur 29 tahun, tetapi belum juga menikah. Ia selalu sibuk di dapur, mengurus ayah dan kedua adiknya, Nana (Mieke Wijaya) dan Neni (Indriati Iskak).
Sikap Nunung yang kerap judes terhadap laki-laki dan tak pandai bergaul merisaukan sang nenek yang sudah semakin tua. Atas permintaan Nenek, Nana dan Neni membawa kakak mereka ke pesta dan mengenalkannya kepada teman-teman mereka, tetapi Nunung malah semakin merengut karena tak suka pesta. Suatu kali, ia malah minta diantar pulang duluan oleh Herman (Bambang Irawan), seorang mahasiswa teman Nana.
Sampai pada suatu hari, Nunung yang sedang menyetop becak tak sengaja terserempet oleh skuter yang dikendarai seorang pemuda bernama Toto (Rendra Karno). Merasa bersalah, Toto menjenguk Nunung yang sakit kakinya. Berkali-kali Toto datang ke rumah untuk mendekati Nunung, namun selalu ditolak. Akibatnya, Toto malah lebih akrab dengan Nana.
Meskipun tahu Toto datang untuk Nunung, Nana tetap berusaha merebut hati Toto dengan minta diajarkan naik skuter hingga mengajak nonton ke bioskop. Nana dan Toto semakin dekat sampai membuahkan sebuah rencana pertunangan. Mendengar itu, Nenek tak setuju. Ia khawatir jika “dilangkahi” Nana, Nunung akan selamanya jadi perawan tua.
Lintas Generasi
Saat menonton, mau tak mau saya teringat Eyang Putri, ibu dari mendiang Mama saya. Beliau adalah salah satu penggemar berat film Tiga Dara. Saat menonton film ini Eyang Putri baru berumur 21 tahun, tetapi sudah menikah. Mendiang Mama belum lahir, namun kedua kakaknya sudah. Jika berpatokan pada usia Eyang Putri saja, memang terasa bahwa usia Nunung sudah begitu jauh dari usia pernikahan normal untuk perempuan saat itu.
Mari kita maju 59 tahun. Sepupu saya, juga seorang perempuan dan cucu Eyang Putri, hanya satu tahun lebih muda dari saya. Tepat seumur Nunung. Dia belum menikah dan sedang kelabakan menghadapi pertanyaan dari segenap anggota keluarga besar kami. Setelah menyelesaikan gelar sarjana di bidang komunikasi, sudah hampir tujuh tahun dia hidup mandiri di Jakarta. Lima tahun terakhir berkarir di salah satu perusahaan media terbesar di Indonesia dan dari penghasilannya, dia bisa menyumbang sedikit-sedikit untuk adik dan orang tuanya serta mencicil mobilnya sendiri. Namun, semua itu tetap tak memuaskan bagi orang-orang di sekitarnya. “Jadi kapan giliranmu? Si A saja yang lebih muda dari kamu saja sudah menikah,” adalah satu dari banyak pertanyaan yang sering dihadapinya.
Menarik bahwa setelah lebih setengah abad sejak Tiga Dara dirilis, orang-orang masih saja usil mengurusi perempuan yang berusia 29 tahun dan belum menikah. Padahal, tiga generasi sudah lewat. Dan selama itu, banyak perempuan yang menikah melewati usia itu membuktikan bahwa usia jelas-jelas bukan masalah. Perempuan yang masih melajang melewati usia itu pun sangat banyak sekarang. Namun, kecemasan tentangnya belum juga menghilang sehingga sebagian besar perbincangan dalam film ini masih hidup di tengah penontonnya, meski tanpa reka ulang.
Hal lain yang membuat film ini begitu mengasyikkan adalah memerhatikan perbedaan sikap yang mencolok antara generasi yang diwakili tokoh-tokohnya. Tengoklah Nunung yang masih berkonde dan berkebaya, sedangkan adik-adiknya telah berpakaian modern dengan setelan rok. Di sebuah adegan, Neni bahkan diperlihatkan memakai celana dan bermain sepatu roda.
Saya pun teringat cerita mendiang Mama. Beliau pernah bercerita bagaimana kesalnya melihat gaya berpakaian Eyang Putri. Saat Mama duduk di bangku sekolah, Eyang Putri masih berkonde dan berkebaya lengkap. Kala itu Mama menganggap bahwa kebaya dan konde itu kuno. Beliau pun merasa malu karena ibunya terlihat sangat tua dan kuno jika dibandingkan dengan ibu dari teman-temannya yang sudah memakai rok.
Pandangan Mama terhadap perempuan berkebaya saat itu kurang lebih selaras dengan penggambaran Nunung di dalam film. Sikapnya terhadap laki-laki sangat konservatif, berbeda jauh dengan Nana dan Neni yang lebih berani mendekati laki-laki. Nunung tak suka pesta dan merasa terlalu tua untuk bergaul. Ia bahkan menganggap dirinya sendiri seperti seorang tante yang mengawasi anak-anak sedang berpesta.
Perbedaan generasi juga terlihat dari cara Sukandar dan Nenek menghadapi perilaku tiga gadis muda itu. Nenek yang tidak setuju dengan rencana pertunangan Nana terang-terangan mengeluh tentang perilaku anak muda yang semaunya sendiri. Tak bisa membedakan antara tindakan yang bisa diputuskan sendiri dengan yang membutuhkan persetujuan orang tua, katanya. Ia digambarkan sebagai orang tua yang masih merasa perlu untuk turun langsung menentukan pilihan terbaik bagi anak-anaknya.
Sedangkan Sukandar sebagai orang tua yang lebih modern, tampil lebih moderat. Ia tak banyak turut campur dalam pilihan anak-anaknya. Meski sama-sama tak setuju dengan pertunangan Nana, ia tak serta merta menunjukkan ketidaksenangannya dengan jelas. Ia lebih memilih pendekatan tidak langsung seperti membuat Toto cemburu dengan keadaan Nunung yang sedang berlibur ke Bandung dan pura-pura menugaskan Toto untuk menengok putri sulungnya.
Proyek Komersial
Rilis tahun 1957, Tiga Dara disutradarai oleh Usmar Ismail sebagai proyek komersial untuk menyelamatkan Perfini dari kebangkrutan. Mengadopsi gaya film musikal Hollywood yang sedang marak kala itu, tak heran jika film ini langsung meraih sukses komersial dan begitu populer, terutama di antara perempuan muda di jamannya.
Karena ditujukan sebagai film populer, jalan cerita Tiga Dara jauh dari rumit. Kisah ini pun tak berakhir dengan dramatis penuh air mata. Malah, cenderung komikal. Nunung dan Nana akhirnya berakhir bahagia dengan pasangan masing-masing.
Usmar Ismail memang dikabarkan merasa malu membuat film ini karena tidak mengusung idealisme kebangsaan, tetapi tak berarti film ini digarap sembarangan. Dialognya masih mengalun tanpa canggung di telinga, tokoh-tokohnya masih bisa membuat tertawa, bahkan masalah yang dihadapi tokohnya masih dekat dengan keseharian perempuan muda masa kini. Tiga Dara menyimpan kecantikan yang tetap terjaga melintas masa, membuktikan integritas dan kepiawaian Usmar Ismail sebagai seorang pencipta film.
Setelah lewat lebih setengah abad dari saat pertama kali dirilis, menonton film ini terasa seperti menjelajah dengan mesin waktu. Baik elemen dalam film maupun cerita di balik pembuatannya menjadi rekaman perjalanan modernisasi yang terjadi di Indonesia. Segala kemiripan dan ketidakmiripannya dengan keseharian kita saat ini sangat menarik untuk didiskusikan, terutama antara perempuan Indonesia dari berbagai generasi yang berbeda.
Sayang, saya tak dapat menonton dan mendiskusikan film ini bersama Mama yang telah meninggal dunia, maupun Eyang Putri yang sudah semakin tua. Jika bisa, tentu akan jadi pengalaman yang jauh lebih menyenangkan.