Yang Berhasil Nyangkut di 2021

Di sela-sela tantrum dan latihan buang air dan mengerjakan proyek sambil mengurus pekerjaan harian, ruang impresi saya kecil sekali tahun ini. Bisa punya waktu satu menit untuk duduk diam tanpa diteriaki “IBU!!” saja sulit, apalagi menghanyutkan diri berjam-jam dengan baca buku atau nonton film panjang tanpa terputus.

Toh, beberapa hal tetap berhasil menarik perhatian saya. Atau mungkin, sebenarnya saya cuma berusaha mengalihkan diri supaya tak mengerjakan apa pun yang sedang dikerjakan—nggak tahu juga, lah.

Sudah jelas kalau 2021 adalah tahun yang luar biasa sulit, meski diam-diam saya agak menikmatinya. Mungkin seperti terjebak dalam sindrom Stockholm, tapi ya, begitulah. Saya menikmati lockdown—menikmati pergerakan yang dibatasi, terkungkung secara fisik. Saya menikmati kondisi menanti-menanti, berada di antara. Dan saya sepenuhnya sadar bahwa pernyataan ini tidak mungkin keluar kalau saya tidak punya keistimewaan.

Saya dan suami saya termasuk beruntung. Sebelum pandemi, dia sudah bekerja setengah tetap/setengah lepas selama bertahun-tahun, dan tepat di awal pandemi, saya mengikuti jejaknya. Situasi kami tak bisa dibilang sama persis dengan sebelum pandemi. Kalau mau dibilang susah, ya iya. Tapi, kami bisa bertahan. Pekerjaan harian kami masih punya dan proyek pun masih berjalan.

Jadi, diam di rumah saja—kerja dari rumah, mengurus urusan sendiri, merawat keluarga saya sendiri—malah jadi perlindungan tersendiri. Seperti gelembung, yang melindungi fisik dan mental. Sampai akhirnya sekarang dunia sedikit demi sedikit mulai terbuka—meski masih ada ancaman varian Omicron—saya belum siap. Selepas kehamilan, saya memang sudah tertinggal jauh. Toh, dalam kondisi bagaimana pun, saya tak suka kalau harus mengejar ketinggalan. Saya mengidap FOMO, sama seperti orang-orang lainnya, tapi saya benci diri sendiri karena memilikinya. Dua hal itu, mengidap dan membenci FOMO, selalu membuat saya frustrasi. Dan senarai sorotan tahun ini jelas-jelas mencerminkan perasaan itu. Terberkatilah mereka yang tak acuh (dan abai).


Mengenal Jajanan Nusantara oleh Lilih S. Hilaliah & Pratya Aprilana (Little Quokka, 2020)

Berisi ilustrasi cantik kue-kue tradisional Indonesia, lengkap dengan bagian yang bisa dibuka-tutup, diraba permukaannya, dan hal-hal lain yang menyenangkan. Buku ini sukses membuat anak saya minta dibelikan kue lapis setiap kali sesi belanja mingguan. Saking sukanya, dia bawa buku ini tidur dengannya tiap malam.

Pasangan layar kaca legendaris, Mulder and Scully dari The X-Files (1993)

Apalah artinya lockdown tanpa nostalgia?

Di awal tahun ini, seluruh sembilan musim ditambah dua musim reuni dan dua film panjang The X-Files bisa ditonton di Indonesia lewat Disney+ Hotstar. Tiba-tiba saya kembali jadi anak sembilan tahun lagi, yang berfantasi jadi Scully, mengacungkan senjata dan menangkap orang-orang jahat.

Miss Subways oleh David Duchovny
(Farrar, Straus and Giroux, 2018)

Nostalgia The X-Files membawa saya pada fakta bahwa David Duchovny bukan saja bisa menulis, tapi dia hampir mendapat gelar Ph.D. dalam bidang sastra dari Yale. Sudah ada empat novel yang diterbitkannya, yang paling baru pada 2021 adalah Truly Like Lightning.

Novel yang lebih lama ini yang malah mencuri perhatian saya. Diksinya ringan dan cara bernarasinya ajaib, tapi juga punya kedalaman tersendiri saat bicara tentang keyakinan dan bertanya-tanya tentang kehidupan. Mengingatkan saya akan sesuatu yang lama saya lupakan tentang membaca. Tentang apa yang dulu sekali membuat saya senang membaca. Bukan tentang pengayaan, peningkatan diri, apalagi pretensi. Tapi, tentang kenikmatan membaca itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *