Hujan deras dan jalanan macet yang mendera Bandung sejak sore tak menyurutkan semangat saya dan Tita untuk datang ke The Goodlife, sebuah kedai mungil berbasis komunitas di Bandung. Saat tiba di lokasi, papan tulis hitam yang biasa bertuliskan daftar menu telah berganti tulisan menjadi “TUTUP”, namun beberapa tamu terlihat telah mengisi tiga dari empat meja yang ada di sana.
Ada yang berbeda dengan The Goodlife pada Jumat malam, 19 Agustus 2016 itu. Bukan hanya menunya, bukan hanya suasananya, tetapi juga pemasaknya. The Goodlife menjadi tuan rumah untuk perhelatan History & Memory–santap malam dan diskusi bersama dua orang pemasak tamu. Perhelatan ini bersifat tertutup, hanya bisa diikuti oleh 16 orang yang sudah melakukan pemesanan terlebih dahulu. Uniknya, dua orang pemasak yang ditanggap bukanlah pemasak profesional.
Yang pertama adalah Prilla Tania, seorang seniman visual yang banyak mengolah tema pangan dan konsumsi dalam karya-karyanya. Prilla tengah mengadakan riset atas adaptasi kuliner Indonesia dalam kuliner Belanda. Sedangkan yang kedua adalah Willi, seorang programmer buta warna yang menyamar jadi tukang foto–begitu bunyi profil dalam akun Instagram-nya. Willi, yang memiliki darah Minang, sedang menggali kembali catatan lama milik neneknya, yang berisi hidangan-hidangan yang turun-temurun disajikan di keluarganya. Meski tak memiliki latar belakang kuliner secara akademis maupun profesional, keduanya adalah orang-orang yang berhasrat terhadap makanan dan kaitannya dengan hidup.
Seperti judul perhelatan ini, Prilla akan memasak sebuah resep bersejarah. Resep itu diambil dari buku Oost-Indisch Kookboek, sebuah buku resep kuno terbitan tahun 1870, yang sedang ditelitinya. Sedangkan Willi, akan memasak hidangan yang ia warisi dari sang ibu dan merekam kenangan akan keluarganya. Selagi para pemasak beraksi, para tamu dipersilakan berdiskusi mengenai makanan bersama mereka.
Membentuk Rupa dan Rasa
Prilla mendapat giliran memasak pertama meskipun hidangan yang dibuatnya adalah puding untuk hidangan penutup. Ini karena puding arrowroot yang akan dihidangkan memerlukan proses pendinginan di lemari es terlebih dahulu. Ya, arrowroot atau ararut atau umbi garut, salah satu jenis umbi-umbian yang kini jarang digunakan. Ararut akan dibuat puding bersama telur, susu, dan vanili, lalu disajikan bersama saus dari bayam merah dan lemon.
Selama memasak, Prilla menuturkan perjalanannya menerjemahkan sebuah resep kuno hingga menjadi hidangan yang akan ia sajikan. Sebagai manusia modern yang terbiasa dengan panduan visual, tentu sulit mengikuti panduan buku resep kuno yang hanya berbasis teks. Tak ada takaran yang akurat dan petunjuk yang benar-benar pasti mengenai rupa maupun rasa akhir yang seharusnya dihasilkan dari proses pemasakan. Hidangan yang nantinya akan disajikan Prilla merupakan hasil interpretasinya terhadap resep yang ia pelajari.
Ketiadaan petunjuk pasti mengenai hasil akhir sebuah resep menjadikannya menarik karena memberi kendali bagi pemasak untuk menyesuaikan sebuah hidangan dengan cita rasa pribadinya. Pembentukan rupa dan rasa bisa dikreasikan sebebas mungkin, sepanjang mempertahankan bahan-bahan utama. Ini yang mungkin menyebabkan sebuah hidangan yang telah diwariskan turun-temurun, dapat memiliki nama yang sama dengan bumbu, rupa, bahkan rasa yang berbeda satu dengan lainnya.
Di masa lalu, umbi garut sendiri sebenarnya merupakan umbi yang lazim ditemui di Pulau Jawa. Umbi ini biasanya dibuat tepung, untuk digunakan sebagai pengental bubur dan sebagai bahan untuk membuat permen coklat. Sekarang ini kita dapat menemukannya dalam bentuk tepung organik, namun dengan harga yang cukup tinggi dan agak langka. Sementara itu, bayam merah yang kita kenal sekarang lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan utama, bukan makanan manis penutup.
Di tengah proses pemasakan puding ararut, Teh Asih, sang pemilik kedai, mengedarkan keranjang kecil berisi hidangan pembuka yang unik. Dua kerupuk aci dengan segenggam nasi putih hangat berlumur kecap di atasnya. Menurut Teh Asih, hidangan pembuka ini terinspirasi oleh masa kecilnya. Jika sedang tak selera makan, ia hanya mau makan nasi putih hangat dengan kerupuk dan kecap. Nah, hidangan pembuka ini adalah versi yang lebih modern. Teh Asih menambahkan acar bunga kecombrang, daun jeruk purut, dan taburan daun bawang kucai pada nasi kecap sehingga memberinya rasa asam yang segar dan aroma yang kuat. Menemani memori masa kecil itu, kami juga menemukan sekeranjang kecil kudapan jaman dulu di setiap meja. Dari cokelat cap Ayam Jago, permen asam haw flakes, nougat kacang Suzanna, balon tiup, sampai asam keranji.
Sambil menunggu matang saus bayam merah untuk puding, Willi mulai memasak hidangan utama, yaitu ikan asam padeh (masam padiah). Menurut Willi, ikan asam padeh merupakan menu rumahan yang tak lazim ditemui di rumah makan khas Minang. Menurut Tita, mungkin hidangan ini kurang populer karena terlalu sederhana jika dibandingkan dengan hidangan Minang lain yang kuahnya pekat dengan santan dan berbagai bumbu yang dihaluskan. Asam padeh sendiri hanya menggunakan cabai giling, asam kandis, belimbing, ditambah jahe, lengkuas, dan sereh tanpa dihaluskan.
Willi juga menyampaikan bahwa bahan dasar asam padeh dapat bervariasi antara satu daerah dengan yang lain. Keluarga Willi yang berasal dari daerah pesisir lebih sering menggunakan bahan laut seperti ikan dan udang. Sementara di Bukittinggi, misalnya, karena berjauhan dengan laut, biasanya menggunakan daging sapi atau ayam. Untuk hidangan kali ini, Willi menggunakan ikan kakap merah. Pelengkap aroma yang tidak boleh terlewatkan saat menyajikan hidangan ini adalah daun ruku-ruku (kemangi).
Berdasarkan pengalaman Tita, seluruh hidangan asam padeh yang pernah dicicipinya memiliki cita rasa yang berbeda-beda. Ia juga pernah menemukan hidangan asam padeh yang menggunakan asam sunti, yang lebih segar rasa asamnya daripada asam kandis. Saya sendiri sepertinya pernah mencicipi, namun lupa rasanya. Sekali lagi, sebagai masakan rumah yang resepnya diturunkan secara lisan, cita rasa pribadi ikut bermain dalam hidangan ini.
Hasil Akhir
Ikan asam padeh yang dimasak Willi disajikan bersama urap. Ketika kami bertanya tentang hal ini, Teh Asih menjelaskan bahwa urap dipilih secara naluriah saja sebagai variasi. Di keluarga Willi, sayur pendamping hidangan ini biasanya adalah cah kangkung. Namun, menurut Teh Asih, cah kangkung terasa kurang spesial untuk acara ini. Sementara itu, sayur daun pepaya pun terlalu mudah ditebak, sehingga mereka putuskan bahwa uraplah yang akan menemani hidangan utama.
Cita rasa dasar asam padeh adalah kecut, asin, dan pedas. Lebih ringan dibandingkan cita rasa hidangan Minang lainnya. Menurut kami, rasa kecut dari hidangan ini kurang dominan ketika disandingkan dengan nasi. Menyantap belimbing sayur di dalamnya bisa sedikit menolong hal ini. Asinnya pun belum bisa mengalahkan rasa nasi, namun tertolong oleh asin dari urap. Cukup mengejutkan bahwa urap yang berasal dari tanah Jawa ternyata klop mendampingi cita rasa Sumatera.
Tiba saatnya mencicipi puding ararut buatan Prilla. Pudingnya tidak terlalu kental dan rasanya sederhana untuk ukuran lidah masa kini. Rasa telur dan susu mendominasi dengan rasa kesat di yang tertinggal di langit-langit mulut. Sausnya yang berwarna magenta menyala terbuat dari bayam merah dan jeruk nipis. Saus ini memiliki rasa asam yang cukup dominan, berasal dari jeruk nipis, dengan sedikit jejak aroma kayu manis, yang kemungkinan digunakan sebagai penghilang aroma bayam.
Kami memiliki pendapat yang berbeda mengenai hidangan ini. Bagi saya hidangan ini benar-benar mencuci mulut karena menetralkan lidah dari rasa yang muncul dari hidangan-hidangan sebelumnya–dengan catatan, rasio konsumsi antara puding dan sausnya setara. Rasa asam dari puding dapat menetralkan rasa susu dan telur yang terasa dominan. Namun, Tita merasa bahwa kesat-manis dari puding dan asam dari sausnya saling menihilkan sehingga tidak menimbulkan kesan yang dominan, malah cenderung hambar.
Secara keseluruhan, malam itu benar-benar berkesan. Dilihat sekilas dari bahan yang digunakan, harga santap malam kali itu terkesan cukup mahal. Namun, sebanding dengan pengalaman yang kami dapatkan. Tamu yang terbatas dan area dapur yang terbuka memungkinkan terjadinya diskusi dan interaksi dengan pemasak. Kami bisa melihat hampir seluruh proses pemasakan dengan jelas. Diskusi pun berjalan dengan menyenangkan, semua memiliki kesempatan yang sama untuk bertukar pendapat. Sebelum pulang, kami juga sempat berdiskusi dengan Teh Asih dan Prilla mengenai budaya kuliner yang terjadi saat ini. Bagaimana aktivitas masak dan makan ternyata sangat lekat dengan perkembangan peradaban dan banyak sekali jejak-jejaknya yang kini hampir punah.
Pembahasan tentang kuliner memang tidak seharusnya hanya berakhir di acara masak bersama celebrity chef atau ulasan mengenai tempat makan yang menjadi tren terbaru. Membuka pintu bagi orang-orang awam yang berhasrat tentang kuliner seperti Prilla dan Willi menjadi pilihan yang berani sekaligus sangat menarik. Toh, makan dan masak adalah pengalaman milik semua manusia di muka bumi ini sehingga pembahasan tentangnya adalah milik semua kalangan.