Apa yang muncul di kepalamu, apa yang kaurasakan saat muncul adegan seks di film yang kamu tonton? Jengah? Terangsang? Penasaran? Jijik? Lalu, bagaimana jika sebaliknya? Saat kamu berhubungan seks, apa yang ada di kepalamu? Wajah idolamu? Adegan seks terakhir yang kamu tonton di film atau video porno? Jemuran yang belum diangkat? Pintu kamar yang belum dikunci?
Dibesarkan dalam budaya Islam Indonesia, tak aneh kalau di awal hidupku seks diperkenalkan sebagai barang terlarang, memalukan, kotor. Beranjak dewasa, ketika seks mulai menjadi bagian yang tak lagi mungkin dihilangkan dari hidupku, aku mulai merasakan kalau pikiranku punya kecenderungan untuk lari saat menghadapi adegan seks–baik secara visual dalam bentuk film atau video, maupun saat berada dalam kegiatan seks itu sendiri. Ada semacam keterputusan antara tubuh, pikiran, dan perasaanku dalam momen-momen semacam itu. Aku tak seutuhnya hadir, tak sepenuhnya menyadari keberadaanku di sana.
Di antara beragam media visual berkonten erotis, video atau film, dengan orang-orang Asia di dalamnya adalah yang paling membuatku tak nyaman. Bisa dibilang begini, semakin dekat kesamaan fisik orang yang ada di layar dengan fisikku sendiri, semakin jengah aku menontonnya. Aku masih bisa tahan melihat adegan seks atau video porno dengan orang-orang Kaukasia di dalamnya. Namun, saat berhadapan dengan orang-orang Indonesia, atau Asia secara umum, yang beradegan seks, aku akan spontan mengernyit atau menarik mundur tubuhku.
Sinema erotis Jepang adalah yang paling membuatku tak nyaman. Yang jadi masalah bukan adegan-adegannya yang eksplisit, tapi apa yang kuserap darinya. Selalu ada semacam emosi yang pekat dan muram, sesuatu yang awalnya dibatasi oleh kekangan istiadat masyarakat, lalu terlepas dalam rupa terliarnya. Emosi yang terasa lebih misoginis jika dibandingkan dengan konten-konten erotis Barat. Padahal, rasa penasaranku pada sinema erotis Jepang amatlah besar, baik film-film pink maupun sinema arthouse-nya.
Ai no Korida, atau yang amat dikenal dengan In The Realm of Senses (1976), besutan Oshima Nagisa mungkin film yang paling lazim dipilih mereka yang mencari tahu bagaimana para sineas Jepang menggunakan seks sebagai ekplorasi wacana dalam filmnya. Tujuh tahun sejak pertama kali aku mulai mencoba menontonnya, sampai detik tulisan ini kubuat, baru sekitar 40 menit yang kurampungkan. Tahu kalau Oshima memberlakukan adegan seks non-simulasi, terasa ngilu saat menontonnya.
Kaze ni Nareta Onna (Wet Woman in The Wind; 2016), karena nuansa satirnya, berhasil kurampungkan dengan kupercepat di sana-sini. Zenra Kantoku (The Naked Director; 2019), serial yang mengisahkan booming industri porno Jepang pada dekade 80-an, gagal kulanjutkan hanya setelah episode kedua musim pertama. Bukan karena adegan-adegan eksplisitnya, melainkan karena aku menangkap emosi gelap yang dipendam oleh si tokoh utama dalam adegan-adegan seksnya.
Jadi, dibandingkan pengalaman-pengalaman nonton sebelumnya, bisa kubilang kalau Kakou no Futari (It Feels So Good; 2019) dari sutradara Arai Haruhiko adalah film erotis Jepang pertama yang berhasil kutonton utuh sampai akhir. Dan, bukan cuma beres tanpa fast forward, ada sesuatu yang kubawa pulang.

Kenji (Emoto Tasuku) dan Naoko (Takiuchi Kumi) adalah sepasang sepupu yang hubungannya dibayangi rasa bersalah karena membelot dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Mereka tak memiliki cukup keberanian untuk mengukuhkan hubungan mereka hingga yang tertinggal di antara mereka hanyalah seks. Kenjilah yang pertama menikah di antara mereka dan kini telah bercerai, meninggalkan anak perempuannya dengan mantan istrinya. Naoko telah memutuskan untuk menikahi laki-laki lain dalam lima hari.
Lalu, aku pun tersadar kalau aku, seperti Kenji dan Naoko, adalah salah satu dari orang-orang yang bisa menjadi sebegitu lancarnya bercerita setelah seks. Perbincangan setelah seks, menurutku, terasa begitu ringan dan terbuka. Kita telah saling melihat, saling merasakan tubuh satu sama lain, lalu kenapa masih canggung membuka apa yang kita rasakan dan pikirkan?
Mengamati Kenji dan Naoko membuatku bertanya-tanya, kapan terakhir aku benar-benar hadir dalam seks? Hadir dengan utuh, tanpa terganggu pikiran, apakah sisa makan malam di atas meja sudah dibereskan atau belum. Tanpa teralih pikiranku–tiba-tiba membayangkan wajah Nagayama Eita atau Josh O’Connor atau Miles Teller. Atau, mendadak rikuh dan jengah, malu karena terlalu menikmati seks. Benar-benar hadir, bersama pasanganku sendiri, menginsafi tubuhku dan tubuhnya.
Dalam satu adegan, Naoko begitu wawas akan tubuhnya dan tubuh Kenji. Apa yang tubuhnya rasakan saat bersama Kenji, bagaimana reaksi tubuh Kenji yang berbeda dari reaksi tubuh tunangannya. Saat Kenji berkata bahwa ia tak pernah menyadari hal-hal seperti itu sebelumnya dan ialah yang paling tahu akan tubuhnya sendiri, Naoko menimpali, “Ken-chan ga shiteru Ken-chan no karada to, watashi ga shiteru Ken-chan no karada to, chigau ne….” Apa yang kauketahui tentang tubuhmu berbeda dengan apa yang kutahu tentang tubuhmu.
Sebuah ulasan untuk film ini di Letterboxd menyatakan, “You know what’s more intimate than sex? Knowing someone else’s body.” Aku tak bisa lebih setuju lagi. Yang membuat seks disebut hubungan intim adalah hal-hal yang hanya bisa kita ketahui saat menanggalkan semuanya–pakaian, pikiran, masalah, rutinitas–dan benar-benar bercinta dengan pasangan kita. Bekas luka di punggungnya. Interval napasnya. Lebar bidang bahunya. Berat tubuhnya di atas tubuh kita. Bagaimana dia memulai, ke mana dia bergerak, apa tandanya dia menuju akhir.
Termasuk, hal-hal tentang kita sendiri. Apa yang membuat kita nyaman. Yang membuat kita bosan. Toleransi kita terhadap rasa sakit. Keberanian kita untuk berkata “tidak”. Dari detail-detail kecil yang rutin itulah kita berbagi keintiman. Dan, hadir menginsafi semua itu, menghargai setiap hal-hal remeh itu sesungguhnya adalah anugerah.
Pada paruh ketiga film ini, sesuatu yang lebih besar datang. Jepang di ambang bencana karena Gunung Fuji diperkirakan akan meletus dalam hitungan hari. Apa yang dihadapi Kenji dan Naoko berubah bentuk. Dari sesuatu yang berujung, bertenggat, sesuatu yang berwujud, menjadi ketidakpastian total. Tunangan Naoko, yang diceritakan sebagai seorang perwira militer, menunda pernikahan karena ditugaskan dalam operasi darurat.
Butuh tiga tahun pandemi, bagiku, untuk memahami sudut pandang ini. Hampir tiga tahun dalam ketidakpastian, tak mampu melihat masa depan, sehingga kita hanya bisa hidup untuk hari ini saja. Dalam ketidakpastian itu, segala rintangan yang awalnya terlihat besar dan menakutkan melebur. Kita bebas, terlepas. Ketakutan menghilang dan fokus kita terpusat pada apa yang kita butuhkan kini, saat ini. Bergantung pada apa yang kita punya saat ini: tubuh kita, dan siapa pun, apa pun yang ada di sisi kita.
Aku mungkin tak akan sampai pada pemahaman-pemahaman ini empat tahun lalu saat film ini masih hangat. Dulu, mungkin aku hanya akan memandangnya sebagai pelarian diri manusia kepada seks. Padahal, yang sesungguhnya, Kakou no Futari adalah sebuah perenungan tentang keterhubungan manusia lewat tubuhnya; keterhubungan antara satu manusia dengan yang lain dan keterhubungan manusia dengan dirinya, pikiran dan perasaannya, sendiri.