Apakah sebuah pameran karya seni harus dilakukan di sebuah galeri seni? Tidak juga. Ada banyak ruang alternatif yang bisa digunakan untuk memamerkan karya-karya seni. Lobi hotel, kafe, pusat perbelanjaan, gudang tak terpakai, bahkan di luar ruang seperti sisi trotoar atau hutan sekalipun.
Selama bulan Januari ini, sebuah ruang kecil di dalam Tobucil, toko buku dan ruang komunitas, dijadikan rumah sementara untuk Alam Taslim dan kawan-kawan untuk memamerkan Igor. Ngomong-ngomong, siapa sih Igor itu?
Igor adalah monster mutan yang berasal dari mi instan, dilahirkan Alam di sebuah warung kopi di Jakarta tiga tahun lalu. Mi instan keriwil-keriwil bersatu menjadi tubuh dan tentakel Igor, sedangkan potongan-potongan cabai rawit menjadi gigi-gigi tajamnya. Matanya cuma satu: (telur) mata sapi. Kepalanya ditutupi mangkuk bakso bergambar ayam jago yang terbalik.
Igor yang tampil di Tobucil bukan hanya lahir dari tangan Alam sendiri, tapi juga seniman-seniman lain yang berkolaborasi dengannya. Awalnya, kolaborasi dilakukan bersama sembilan orang kawan Alam dengan merespons patung Igor berukuran mini, yang dibuat oleh I Komang Adiartha. Teman-teman yang ikut berkolaborasi pun berkembang sampai 22 orang sampai saat ini.
Untuk keperluan pameran, ruang berdinding dan berlantai putih yang biasa digunakan untuk workshop ini tidak diubah dari tampilan sehari-harinya. Kebanyakan karya kolaborasi yang dipajang adalah karya seni grafis sehingga bisa langsung digantung di tiga bidang dinding yang melingkungi ruangan. Tidak ada penataan atau pencahayaan khusus, semuanya serba sederhana. Dalam printed art yang sudah dibingkai rapi, Igor tampil jadi mandala, dalam bentuk piksel, jadi monster yang kawaii, dan macam-macam lagi.
Selain karya seni grafis, patung-patung mini Igor dari kayu albesi dipajang di sebuah meja kecil dekat dinding. Hasil kolaborasi dengan Etalase Ubud, yaitu Igor yang menjelma jadi aksesori, hanya ditampilkan satu buah contohnya saja. Sisanya hanya diperlihatkan dalam bentuk foto. Sayang sekali, padahal aksesori-aksesori itu yang membuat saya ingin datang dan melihat langsung pameran Igor Kolaborasik ini.
Pada salah satu bidang dinding, terpampang peta warung mi se-Bandung, yang jalan-jalannya terbentuk dari tentakel-tentakel Igor. Sudah ada beberapa nama warung mi tersohor yang dicetak, tapi pengunjung juga bisa ikut menambahkan nama-nama warung andalannya pada peta itu. Sayangnya, peta itu kurang besar, jadi agak sulit mencari lokasi untuk ditempelkan nama-nama warung.
Bersebelahan dengan peta, ada meja dan rak gantung berisi berbagai merchandise yang bisa dibeli langsung di lokasi. Sebuah scarf lucu, yang motif batiknya tersusun dari untaian mi dan potongan cabai rawit, menarik perhatian saya. Sepertinya, Igor memang dimaksudkan untuk bermutasi jadi rupa-rupa merchandise. Pertimbangan yang logis, mengingat mi instan sudah jadi bagian dari budaya populer di Indonesia dan tampilan Igor yang memang menarik mata.
Entah disengaja atau tidak, sudut tempat merchandise ini berdekatan dengan… dapur! Jadi bikin kepengin masak mi instan.
Meski tempatnya sederhana dan belum bisa memancing interaksi pengunjung, pameran ini tetap menarik. Hasil karya Alam dan kawan-kawan punya cukup potensi untuk menarik pengunjung dan fleksibel untuk dipamerkan, tanpa kebutuhan ruang yang rumit. Semoga saja Igor bisa mampir kembali ke Bandung dalam bentuk pameran yang lebih interaktif. Atau, apa mungkin Igor akan segera menyapa Bandung lewat etalase-etalase toko? Hmmm, bisa jadi.
2 pemikiran pada “Menikmati Mi Instan Hasil Mutasi”
Karya yang bagus, semoga bisa menjadi contoh untuk masyarakat luas untuk terus berinovasi
hahaha lucu juga ya