Narasi di awal film sudah menjadi penanda bahwa cerita tentang Athirah (2016) dituturkan dari sudut pandang orang ketiga. Sang penutur adalah anak laki-laki tertuanya, Ucu. Namun, penulis skenario Salman Aristo dan Riri Riza justru tak memberi ruang yang besar untuk percakapan verbal dalam film ini – terutama untuk tokoh Ucu. Narasi oleh Ucu juga tak akan dijumpai lagi sampai ujung film.
Ucu (Cristoffer Nelwan) tak perlu banyak bicara lagi karena tuturannya telah diolah menjadi elemen-elemen yang membentuk film ini. Dan seperti Ucu remaja yang sedang belajar memahami keadaan di sekitarnya lewat pengamatan, saya sebagai penonton mesti menyimaknya dengan lekat. Ayah Ucu semakin jarang pulang, minyak rambut selalu melengkapi penampilan ayahnya yang semakin perlente, wajah sang ibu yang sering risau, hingga celetukan teman bermain bola Ucu yang berkata bahwa ayahnya berbagi perempuan. Bersama Ucu, saya merangkai simbol-simbol ini menjadi sebuah informasi: Ayah Ucu telah memiliki istri baru.
Kabar ini pun sampai ke telinga Athirah (Cut Mini) yang menerimanya dengan hati pedih, tapi tanpa aksi melankolis yang tak perlu. Poligami bukan hal baru bagi Athirah. Ibunya sendiri adalah istri keempat. Alasan sang suami memutuskan beristri lagi sudah tak ada gunanya bagi Athirah. Yang ada di hadapannya tinggal pilihan, bertahan atau pergi.
Cerita tentang poligami sebenarnya bukan hal baru di negeri ini. Murni fiksi maupun diilhami kisah nyata. Berdasar pada agama maupun budaya. Inggit Garnasih memilih berpisah dari Soekarno saat menghadapinya. Athirah sendiri memutuskan untuk bertahan. Bahkan sebenarnya Athirah bukan cuma bertahan, ia juga melawan. Alih-alih melempar piring atau menggugat cerai, perlawanannya begitu subtil. Ia memutuskan untuk berdagang kain sutra dan perhiasan.
Kemandirian ekonomi memang jalan yang rasional bagi perempuan untuk melawan penindasan atasnya. Efektif, bahkan. Lewat sepasang giwang emas, sutradara Riri Riza menggambarkan kecerdasan Athirah menggunakan kekuatan ekonomi untuk meraih kemenangan-kemenangan kecil seorang perempuan atas laki-laki. Giwang emas yang dibeli Athirah dari hasil usahanya sendiri itu membantu memenangkan kembali suaminya walau untuk sementara. Saat bisnis sang suami mengalami kesulitan keuangan, Athirah pun dengan anggun menyerahkan seluruh hasil usahanya untuk membantu. Ketangguhan dan keanggunan yang mengingatkan saya akan tokoh Bu Bei – yang juga dimadu – dalam novel Canting karya Arswendo Atmowiloto.
Jika berangkat dari film ini semata, cerita Athirah menjadi luar biasa karena Ucu. Di kehidupan nyata, Ucu adalah Jusuf Kalla. Anak laki-laki Athirah itu telah mengantarkan usaha yang dirintis bersama suaminya dulu menjadi sebuah korporasi besar. Ucu menjadi politisi penting, dua kali menjabat wakil presiden. Dan hingga saat ini, belajar dari apa yang dirasakan ibunya, Ucu teguh tak berpoligami. Lewat Ucu, perlawanan Athirah seakan telah lengkap. Mandiri secara ekonomi, bertahan menjalani poligami hingga akhir hidupnya, membangun suasana keluarga yang harmonis demi membesarkan anaknya, mendorong sang anak mengembangkan bisnis hingga karir politiknya, dan yang terpenting, membesarkan seorang laki-laki yang tak mengikuti jejak ayahnya berpoligami.
Di luar cerita dalam film, ada dimensi-dimensi lain dalam sosok Athirah Kalla yang tak sempat digali. Tidak ada cerita yang lebih dalam tentang kepiawaian Athirah sebagai pebisnis perempuan atau keterlibatannya yang aktif dalam organisasi perempuan Aisyiyah Muhammadiyah, misalnya. Diadaptasi dari novel Alberthiene Endah berjudul sama, film ini memang sengaja berpegang teguh pada sudut pandang Ucu yang digunakan dalam buku. Sosok Athirah yang begitu puitis dalam film ini tampil dalam konteks seorang ibu, bukan perempuan sebagai individu.
Saat baru saja terasa kuatnya sosok Athirah sebagai perempuan, perannya sebagai ibu dikembalikan dengan tiba-tiba. Saya kembali diingatkan bahwa sesungguhnya film ini bercerita tentang pandangan seorang anak terhadap ibunya. Lalu, ketika tiba saatnya selesai bercerita, film ini berakhir seperti seseorang dalam angkutan umum yang terpaksa menghentikan ceritanya karena sudah sampai di tujuan – begitu terburu-buru. Saat keluar dari studio, saya pun merasa seperti turun dari metromini yang sedang melaju – bingung harus berpijak ke mana.