The God of Small Things: Hal-Hal Kecil yang Menghantui

Gentle half-moons have gathered under their eyes and they are as old as Ammu was when she died. Thirty-one.

Not old.

Not young.

But a viable die-able age.

Mungkin bukan kebetulan kalau saya baru membaca The God of Small Things karya Arundhati Roy di usia ke-31. Tidak tua. Tidak muda. Tapi usia yang layak, bisa mati.

Tiga puluh satu adalah usia dua tokoh sentral dalam buku ini ketika cerita dituturkan, sepasang saudara kembar dari dua telur yang berbeda, Rahel dan Estha. Tiga puluh satu juga usia ketika Ammu, ibu mereka meregang nyawa seorang diri di sebuah kamar penginapan yang kotor, hanya ditemani ributnya suara mesin kipas angin.

The God of Small Things bergerak maju-mundur dalam kontinum waktu, merekam tak hanya kisah hidup Rahel dan Estha, tapi juga riwayat keluarga besar mereka di sebuah kota kecil bernama Aymanam, negara bagian Kerala, selatan India. (Roy memilih menuliskan Aymanam sebagai “Ayemenem”.) Akan tetapi, penuturan waktu yang maju-mundur itu selalu berjangkar pada dua momen: menjelang Natal tahun 1969, ketika sebuah kejadian memisahkan sepasang kembar itu dan mengubah hidup mereka selamanya, dan 23 tahun kemudian ketika mereka bertemu kembali saat berusia 31 tahun.

Sebagai keturunan pemuka agama Kristen Ortodoks Siria, keluarga Ipe telah menikmati tahun-tahun gemilang sebagai keluarga terkemuka di Ayemenem. Kaum Kristen Siria menempati kelas sosial yang tinggi di negara bagian Kerala karena dipercaya sebagai keturunan kasta Brahmana yang ditahbiskan menjadi Kristiani langsung oleh Rasul Thomas. Pernikahan dengan kaum Hindu–seperti yang dilakukan Ammu dengan ayah Rahel dan Estha–bukanlah hal yang terhormat. Maka, ketika Ammu membawa Rahel dan Estha pergi meninggalkan ayah mereka, yang pemabuk dan kasar, dan kembali ke rumah Ayemenem, keluarganya tidak menyambut baik. Yang paling menolak kehadiran mereka adalah Baby Kochamma, bibi Ammu, adik perempuan ayahnya.

Tahun saat Ammu, Rahel, dan Estha kembali ke rumah Ayemenem adalah 1969. Pappachi, ayah Ammu sudah meninggal beberapa tahun sebelumnya, meninggalkan Mammachi, istrinya yang setengah buta akibat terus menerus ia kasari. Salah satu hal yang membuat Pappachi seolah begitu membenci istrinya adalah bisnis acar dan selai yang didirikan Mammachi. Bisnis itu menjadi sumber pendapatan utama keluarga Ipe setelah Pappachi pensiun dari posisinya sebagai ahli entomologi untuk pemerintah India.

Chacko, kakak laki-laki Ammu, seorang penerima beasiswa Rhodes yang berpendidikan di Oxford, juga telah kembali ke Ayemenem dalam keadaan tanpa pekerjaan dan bercerai dari istrinya, Margaret. Akan tetapi, sebagai anak laki-laki dalam keluarga Kristen di Kerala, Chacko memiliki hak penuh sebagai pewaris harta keluarganya. Sepulang dari Inggris, Chacko segera dipercaya Mammachi untuk menjalankan bisnis acar dan selainya. Di sisi lain, Ammu, sebagai anak perempuan, dianggap tidak memiliki hak apa pun atas harta peninggalan orang tua mereka. Roy menggambarkan dengan lugas diskriminasi ini:

Though Ammu did as much work in the factory as Chacko, whenever he was dealing with food inspectors or sanitary engineers, he always referred to it as my factory, my pineapples, my pickles. Legally this was the case, because Ammu, as a daughter, had no claim to the property.

Chacko told Rahel and Estha that Ammu had no Locusts Stand I.

‘Thanks to our wonderful male chauvinist society,’ Ammu said.

Chacko said, ‘What’s yours is mine and what’s mine is also mine.’

Pada tahun 1969 gerakan komunisme tengah mencapai puncaknya di Kerala. Dalam narasinya, Roy mengetengahkan bahwa gerakan komunisme di Kerala sebagai salah satu yang paling sukses di India. Hal itu, menurut Roy, disebabkan oleh besarnya populasi Kristen Siria di Kerala, dan pemahaman akan komunisme lebih mudah dianalogikan oleh penganut Kristen daripada Hindu. Ironisnya, situasi politik ini membawa keluarga Ipe, sebagai bagian kasta tinggi dan pemilik modal, menjadi sasaran ketidakpuasan para aktivis Partai Komunis, yang banyak di antaranya adalah golongan kasta rendah dan paria.

The trouble with this theory was that in Kerala the Syrian Christians were, by and large, the wealthy, estate-owning (pickle-factory-running), feudal lords, for whom communism represented a fate worse than death. They had always voted for the Congress Party.

Tanpa sepengetahuan keluarga Ipe, salah satu dari anggota Partai Komunis itu adalah Velutha, seorang tukang kayu dari kasta paria, yang keluarganya telah turun-temurun melayani keluarga Ipe. Velutha lah yang kemudian menjadi poros dari tragedi yang mengubah nasib keluarga Ipe, terutama Rahel dan Estha, selamanya. Apa yang selanjutnya terjadi kepada Velutha juga menggambarkan sedemikian kuatnya segregasi sosial yang terjadi di India, bagaimana sistem kasta telah mendarah daging sehingga agama selain Hindu sampai komunisme sekalipun tidak kuasa melawannya.

Sebagian besar latar belakang The God of Small Things dipinjam Roy dari masa kecilnya sendiri di Aymanam. Secara umum, kisah ini memproyeksikan ketegangan dan keresahan Roy akan benturan sosio-kultural yang membesarkannya. Pembaca mendapati Roy mengutuk sistem kasta (disebut sebagai “Love Laws” di buku ini), yang mau tak mau telah menjadi bagian kehidupan masyarakat India, tapi juga mencemooh keluarga Kristennya yang kebarat-baratan dengan menyebut mereka “anglophiles”. Di satu sisi, Roy mempermainkan bunyi-bunyian dalam Bahasa Inggris sebagai bentuk perlawanan terhadap bahasa imperial, tapi di sisi lain, ia juga tak sepenuhnya fasih berbahasa Malayalam. Satu bab yang dihabiskan Roy untuk bercerita tentang tarian Kathakali terasa tidak sepadan dengan referensi-referensi budaya Barat yang lebih kuat dalam buku ini, seperti film The Sound of Music atau kecenderungan Chacko mengutip karya sastra Inggris.

Kekuatan buku ini, sesungguhnya, terletak pada detail-detail yang dibangun Roy dalam narasinya. Detail-detail kecil ini bergerak liar, baik dalam ingatan Rahel maupun berupa ungkapan sang narator.

Once it had had the power to evoke fear. To change lives. But now its teeth were drawn, its spirit spent. It was just a slow, sludging green ribbon lawn that ferried fetid garbage to the sea. Bright plastic bags blew across its viscous, weedy surface like subtropical flying-flowers.

Hal-hal kecil dalam The God of Small Things memiliki kualitas yang menyesatkan, mengeruhkan pandangan karakternya dan memutarbalikkan nasib mereka tanpa ampun. Karakter-karakter di dalam buku ini pun digambarkan begitu pengecut; bersembunyi di balik hal-hal kecil, berharap hal-hal itu dapat menyelamatkan mereka, sehingga abai akan risiko besar yang mengikutinya.

And the Air was full of Thoughts and Things to Say. But at times like these, only the Small Things are ever said. The Big Things lurk unsaid inside.

Semakin mendekati akhir cerita, peristiwa-peristiwa digambarkan seperti kilatan-kilatan memori, dalam kalimat-kalimat pendek namun dramatis. Pengulangan-pengulangan kalimat dan kejadian di sepanjang buku menimbulkan perasaan terhantui bagi yang membacanya. Perasaan ini lah yang bisa membuat pembaca terus menelusuri kata demi kata dalam The God of Small Things, meski telah mengetahui akhir tragis dari kisah Rahel dan Estha.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *