Rimba menawarkan petualangan dan bahaya dalam kadar yang setara. Bisa jadi, kita tersesat di dalamnya dan tak bisa pulang. Tetapi, saat petualangan itu bisa berujung pada jalan pulang, kita bisa keluar sebagai orang yang sama sekali berbeda. Terasah, tercerahkan.
Suatu Minggu sore, setelah dua minggu menunggu, saya memberanikan diri mendatangi rimba itu. Rimba rasa bernama Joongla, sebuah kios fine dining di dalam Pasar Cihapit. Kios fine dining. Sungguh terdengar seperti oksimoron.
Empat hidangan–amuse-bouche, hidangan pembuka, hidangan utama, hidangan penutup–ditambah satu sajian minuman akan disajikan dalam waktu lebih-kurang satu jam. Tema pertama yang mereka angkat adalah Sumatra–suatu awal jelajah rasa Nusantara dimulai dari ujung barat. Satu tema akan berlangsung selama tiga bulan sebelum kemudian digantikan dengan yang baru.
Amuse-bouche, mungkin seperti lagu pertama dalam sebuah album, seperti hook dalam tulisan, seperti kesan pertama dalam perjumpaan, adalah menu mungil dengan tugas yang amat berat. Tinggi taruhannya untuk sukses atau gagal.
Namun, Sus Dadiah menunaikan tugasnya dengan predikat istimewa. Dadiah, atau dadih, sejenis yogurt tradisional Minangkabau dari susu kerbau yang difermentasi dalam selongsong bambu. Dadiah di Joongla menggunakan susu sapi dan teksturnya cenderung cair. Ia dicampur dengan tempe, lalu dituang mengisi ceruk kue sus yang juga bercampur tempe, kemudian dipugas dengan daun tespong.
Dadiah ini gurih bukan main. Salah satu penikmat hidangan sore itu menyebutnya mirip dengan krim keju. Buat saya, ia terasa lebih ringan, seperti santan, tapi dibubuhi kaldu karena gurihnya. Rasa yang kemudian mengirimkan sekelebat ingatan akan mushroom coconut soup yang saya cicipi delapan tahun lalu di Fivelements Retreat. Digigit bersama sus, ia lebur, menjadi paduan rasa yang paling nikmat menurut lidah saya: manis-gurih.
Ini adalah sejenis makanan yang bisa mengembalikan suasana hati setelah rapat seharian, pulang menghadapi balita tantrum, lalu lanjut mengejar tenggat tulisan sampai azan subuh berkumandang. Sayang sekali sus dadiah hanya hadir sebagai amuse-bouche. Padahal, saya sanggup melahap habis seandainya ia hadir sebagai hidangan utama sekalipun.
Perlahan tapi pasti, rasa yang familier itu hilang. Saya kelabakan. Buru-buru saya menyendok saus yang masih terlihat kental, namun ia semakin samar.
Lanjut ke hidangan kedua: hidangan pembuka. Sungguh keputusan yang luar biasa bahwa hidangan pembuka yang dipilih Joongla adalah rujak. Samalanga, namanya. Asalnya dari Bireun, Aceh, tapi yang ini tentu sudah melalui modifikasi. Hidangan ini bisa dibagi menjadi tiga bagian besar: buah-buahan, saus rujak, dan elemen modifikasi dari Joongla, granita jeruk-kecombrang.
Rujak Samalanga ala Joongla menggunakan mangga kweni, belimbing, salak, dan stroberi. Kenapa stroberi? Karena kini Jawa Barat adalah sentra produksi stroberi terbesar di Indonesia meski ia bukan buah endemik. Saus rujak menggunakan gula aren, asam jawa, dan cabai–tak ada yang terlalu aneh. Tapi kemudian, saus ini masih pula dilengkapi dengan granita jeruk-kecombrang, dan akhirnya dipugas dengan daun mint.
Sambil menuangkan granita jeruk-kecombrang ke piring saya, Chef Nunu menyampaikan bahwa suhu dan waktu sangat menentukan dalam hidangan ini. Saya belum menyadari apa yang akan terjadi.
Saya memulai dari granita. Manis dan asam yang segar. Kemudian, saya cicipi saus rujak. Saya tak menyangka bahwa legit gula aren yang berpadu dengan asam jawa, dan sedikit pedas dari cabai, ternyata menyulut nostalgia di lidah saya. Padahal, saya tak suka-suka amat pada rujak. Entah dari mana saya mengenal cita rasa itu. Rujak bebek yang dulu sering dibeli almarhum ibu saya? Rujak buatan almarhum Eyang Putri saya?
Saya yakin pernah mengenal rasa itu, tapi tak bisa menemukan di mana ingatan itu tersembunyi. Saya membalurkannya ke mangga kweni–pas perpaduannya. Saya mengambil stroberi–ini asing buat saya. Saya coba padukan dengan daun mint–ia semakin asing. Saya mengambil belimbing–nah, ini yang paling “betul”.
Di dasar tumpukan buah, saya menemukan gumpalan kacang, yang ketika bersatu dengan saus rujak, menguatkan nostalgia itu. Tapi, granita kini sudah sepenuhnya mencair. Ia membanjiri saus rujak dengan cita rasa asam yang sama sekali berbeda dari asam jawa. Perlahan tapi pasti, rasa yang familier itu hilang. Saya kelabakan. Buru-buru saya menyendok saus yang masih terlihat kental, namun ia semakin samar. Saya mengambil kacang, berusaha membawanya kembali karena saya masih perlu tahu, di mana saya pernah mengenalnya. Sendokan demi sendokan sampai hidangan itu tandas, saya mengais-ngais sensasi gula aren dan asam jawa. Namun, terlambat sudah. Granita telah mengubah semuanya. Saya resmi tersesat.
Kelebat nostalgia yang hilang dalam sekejap itu membuat saya tertegun. Mungkin inilah kenapa suhu dan waktu menjadi penting dalam hidangan ini.






Kegagalan memanfaatkan waktu untuk mencari tahu asal sensasi nostalgia dalam Rujak Samalanga sempat mengurangi fokus saya pada hidangan selanjutnya–meski tak mengurangi kenikmatannya. Serambi Sumatera, hidangan utama yang mewakili beberapa daerah Sumatra sekaligus dalam satu piring, tak bisa tak mencuri perhatian. Ayam fillet dengan kulit yang empuknya seperti tahu terendam dalam kuah kari gurih, berteman sayur kacang panjang batokok.
Sayur batokok ini yang malah mencuri perhatian saya, bukannya si ayam. Kacang panjang dalam sayur itu dibakar, mematahkan anggapan bahwa kacang panjang hanya bisa direbus, ditumis, atau dilalap. Ia dibakar! Dan sensasi hangus dari bakarannya menciptakan lapisan rasa yang baru bagi saya. Saya kembali teringat akan Fivelements Retreat, di mana saya pertama kali mencicipi terung yang dipanggang layaknya steak, setelah 27 tahun selalu menolak makan terung balado. Saya pun kembali menemukan jalan pulang.
Hidangan terakhir, hidangan manis pencuci mulut, adalah Karambia. Semacam ode untuk kelapa, yang adalah komoditi andalan Sumatra. Es krim kelapa dengan taburan gongseng di atas lamang golek, dipugas dengan kelapa bakar, taburan gula aren, taburan gongseng, dan parutan kulit limau. Saya sesungguhnya berharap gongseng akan disajikan utuh seperti brown butter, alih-alih dalam bentuk taburan. Tapi, saya malah ditantangi untuk bikin sendiri, jadi saya sudahi saja pendapat saya yang kurang populer itu.
Yang unik dalam pengalaman makan ini bukan cuma menunya, bukan juga cerita dan riset mendalam di balik menu, atau bahan baku dan metode pengolahan yang disampaikan blak-blakan oleh tuan rumah dan para chef. Yang paling unik buat saya adalah bagaimana buku menu ternyata juga difungsikan sebagai catatan kesan dan pesan untuk diisi penikmat hidangan. Jadi, segera setelah tuntas menikmati satu hidangan, kami serta-merta ditodong untuk menuliskan kesan kami akan hidangan itu. Dengan rentang waktu yang pendek antar-hidangan, sungguh rasanya seperti ujian. Selesai, tidak selesai, harus dikumpul. Tapi, justru ini yang bikin seru karena kapan lagi kita diberi kesempatan untuk memberi umpan balik dalam sebuah sesi fine dining.
Keberanian mereka untuk menerima umpan balik, menurut saya, patut diacungi jempol. Itu adalah bagian dari mengakui bahwa hidangan yang mereka sajikan mungkin belum sempurna–Chef Nunu bahkan mengakui bahwa Karambia adalah menu dadakan yang muncul dua hari sebelum percobaan buka karena menu yang sudah direncakanan berakhir gagal–tapi akan terus bertumbuh seiring perjalanan mereka. Justru, penerimaan kita akan berbagai ketidaksempurnaan itulah yang menjadikan pengalaman santap di Joongla semakin berkesan.
2 pemikiran pada “Rimba Rasa di Sudut Pasar”
Terima kasih banyak Eka, sudah mengkondisikan waktu untuk mendongengkan ulang cerita tentang Joongla dengan rasa manis yang berbekas. Sampai ketemu di petualangan rasa selanjutnya! Salam dari Pasar Cihapit Bandung 🌺
Likewise, Dynna! Tetap semangat dan sehat-sehat ya. Sampai ketemu lagi! ❤🔥