Buku How To Be Alone karya Sara Maitland menghampiri saya pada suatu siang yang hujan rintik-rintik di Aksara Citos, dua tahun sekian bulan yang lalu. Sayang, perjumpaan kami yang singkat itu tidak diakhiri dengan pulang bersama.
Tak ingat jelas kenapa saya memutuskan untuk tidak membawanya pulang. Kemungkinan besar karena sedang berhemat. Atau mungkin alasan lain. Entahlah. Padahal, kala itu, saya sedang butuh-butuhnya panduan untuk hidup sendiri pasca perceraian.
Keputusan tak membawanya pulang kemudian jadi penyesalan yang membayangi saya karena setelah perjumpaan tadi, sulit sekali menemukannya di toko buku. Maka, dimulailah perburuan buku bersampul oranye itu. Selama dua tahun terakhir, setiap mengunjungi toko buku Kinokuniya atau Aksara, saya selalu menyempatkan diri mencarinya. Terutama jika ada obral buku yang diadakan toko buku Periplus, dengan semangat membara saya membongkar tumpukan buku-buku obral dengan harapan bisa menemukannya (dan tentu, membelinya dengan harga yang lebih murah).
Pencarian selama dua tahun itu bukan tanpa hasil. Meski belum bertemu dengan si oranye, saya malah berkenalan dengan judul-judul lain dalam seri The School of Life yang menaunginya. Seri yang digagas Alain de Botton ini menyatakan dirinya sebagai buku self-help (swabantu). Itulah mengapa semua judul bukunya diawaliĀ frase āHow Toā.
Yap, self-help. Atau self-improvement. Atau segala narasi berbunga-bunga yang seakan menganggap semua masalah pembacanya berawal dari kemalasan semata sehingga si pembaca tak layak berkeluh kesah karena toh, masalah yang dialaminya akan hilang tak berbekas jika mengikuti arahan yang dibuat si penulis.
Hmm, agaknya yang terakhir ini hanya prasangka saya saja karena ternyata, bacaan self-help tidak perlu terkesan menyepelekan atau menggurui. Atau seperti yang disebutkan di sampul belakang tiap buku dalam seri The School Of Life, tidak perlu menjadi dangkal dan naif.
Seperti layaknya bacaan self-help, seri ini tetap berperan sebagai panduan
menghadapi permasalahan hidup di dunia modern. Hanya, narasinya tidak disajikan dalam bentuk tips atau langkah-langkah praktis, melainkan kajian yang merefleksikan hakikat dan membuka sudut pandang pembaca atas topik-topik yang diangkatnya.
Masing-masing judul, yang ditulis oleh berbagai penulis dari berbagai latar belakang keahlian, memiliki nada dan gaya bertutur yang berbeda.Ā How To Think More About Sex (ditulis oleh penulis dan ahli filsafat Alain de Botton) mengeksplorasi sudut pandang manusia tentang seks dan kasih sayang menggunakan referensi filsafat dan literatur. Lain halnya dengan How To Develop Emotional Health (ditulis oleh psikolog Oliver James) yang membahas tentang hakikat kesehatan emosional berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan penulisnya.
Lima belas judul yang sudah terbit menyuguhkan berbagai topik dari mulai kerisauan tentang uang hingga bagaimana bertahan hidup di kota besar. Kekhasan penulisan dan topik-topiknya yang tanpa basa-basi menyentuh kerisauan manusia modern menjadikan seri ini bacaan yang asyik dan layak dikoleksi.
Dalam dua tahun, sudah lima judul yang berhasil saya kumpulkan: How To Age, How To Connect With Nature, How To Think More About Sex, How To Deal With Adversity dan How To Develop Emotional Health. Lima judul yang sudah duduk manis di rak buku saya itu tentu kurang lengkap tanpa judul yang mengawali perkenalan saya dengan seri sekolah kehidupan ini: How To Be Alone.
Setelah kelima judul itu, saya meneruskan pencarian si oranye itu di berbagai toko buku di Jakartaābahkan di acara Big Bad Wolf Books Jakarta bulan laluānamun ia belum juga menampakkan diri. Sampai akhirnya saat makan siang di Setiabudi Supermarket Bandung akhir pekan lalu, tanpa sengaja saya menemukannya. Terselip di antara buku-buku novel obral di toko buku Periplus.
Perburuan buku tentang bagaimana menikmati kesendirian yang berawal saat saya memulai hidup sendiri di Jakarta malah berakhir di Bandung saat saya sudah tak lagi sendiri. Sebenarnya ini bisa saja jadi sebuah akhir cerita yang manis, tapi setelah dua tahun terlewati, perburuan ini tidak lagi menyangkut satu judul buku saja. Masih ada sembilan judul buku lagi yang belum ditemukan.
Perburuan masih jauh dari selesai. Ini baru benar-benar dimulai.