Omameda Towako sudah tiga kali menjanda. Tiga kali menikah, tiga kali bercerai. Kata ayah Towako, pernikahan pertamanya so suddenly, yang kedua seperti comedy, sedangkan yang ketiga bak fantasy. Ketiga, bukan terakhir. Karena Towako tak pernah membatasi dirinya mencari kebahagiaan. “Hitori de ikiteikeru kedo…,” Towako bergumam. Sendirian pun aku bisa hidup, tapi…. Tapi, apa? Entah. Towako juga masih mencari akhir kalimat itu.
Towako hidup dengan satu aturan sederhana: menghindari berpapasan dengan orang-orang dari masa lalunya. Namun, kematian ibunya malah membawa Towako mengontak ketiganya sekaligus dalam satu hari, demi mencari jawaban pertanyaan rahasia untuk membuka akun surel ibunya. Dalam kotak surel ibunya itu, ada surat wasiat yang harus dipenuhi Towako untuk upacara pemakaman.
Nakamura Shinshin adalah suami ketiga dan termuda Towako. Ia bahkan lebih muda dari Towako. Seorang pengacara muda yang akhirnya memperoleh izin praktik setelah tiga kali gagal ujian selama masa pernikahannya dengan Towako. Kegagalannya sendiri, ditambah suksesnya karier Towako, mengompori ego, menghancurkan harga dirinya, sampai ia pun memutuskan untuk menceraikan Towako.
Yang kedua adalah Sato Kataro. Karier yang ia jalani sebagai fotografer fesyen sekarang ini, tak lain tak bukan, adalah berkat Towako. Sebelumnya, ia hanyalah fotografer koran kuning yang berbohong di depan Towako, pura-pura menjadi fotografer fesyen, demi bisa berkenalan. Pernikahan mereka tak seberapa lama karena, dari pertemuan tak sengaja Towako dengan tetangga lamanya, terungkap bahwa Towako tak akur dengan ibu Kataro.
Sampailah kita pada suami pertama Towako. Ayah dari anak tunggalnya, Omameda Uta. Tanaka Hassaku.
Hassaku terasa berbeda dari kedua mantan suami Towako setelahnya. Cerita Towako dengan Hassaku tak bisa diceritakan dengan mudah layaknya dengan dua yang lain. Jelas-jelas masih ada yang belum selesai di antara mereka. Satu per satu rahasia yang disimpan Towako dan Hassaku pun terungkap seiring peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup keduanya.
Bahwa saat menikahi Towako, Hassaku sesungguhnya mencintai orang lain. Sosok yang tak pernah bisa digantikan oleh Towako. Perasaan bertepuk sebelah tangan itu masih terus dipeliharanya, bahkan setelah bercerai dari Towako. Hassaku digambarkan sebagai laki-laki lembut yang mudah menarik perhatian perempuan, tetapi sulit benar menolak mereka. Ia menerima perasaan Towako, melamarnya, mengubur perasaannya sendiri terhadap sosok yang benar-benar dicintainya, tak mengambil tindakan apa pun yang mengkhianati Towako selama pernikahan mereka—sayangnya, itu semua tak cukup untuk Towako. Kata Towako kepada Hassaku, meski hidup berdua dengan seseorang, kalau tak dicintai, rasanya sama seperti sendirian. Saat Towako menyadari hal itu, berakhirlah pernikahan mereka.
Meski begitu, Hassaku tetaplah yang pertama. The OG. Towako menikahinya karena cinta, mungkin lengkap dengan angan-angan romantis yang lugu, tentang hidup bersama sampai tua dan membangun keluarga. Di sinilah aku, sebagai sesama perempuan yang pernah bercerai, mengerti benar perasaan itu.
Pernikahanku maupun pernikahan Towako sama-sama bermula dari kesalahan. Hasil dari pemikiran yang terlampau naif di masa muda, ketidakmampuan membatasi diri dari tuntutan-tuntutan normatif, doktrin dan mitos pernikahan yang kutelan bulat-bulat, dan entah apa pun itu. Namun, yang pertama tetaplah yang pertama. Meski salah, dialah yang menjadi awal dari segalanya. Lalu, kesalahan itu pun mendasari keputusan-keputusan hidupku selanjutnya. Segala yang kuperbaiki setelahnya, segala yang “benar” yang kubuat kemudian tetaplah dibangun di atas kesalahan itu.
Mengakui kesalahan yang dibuat sendiri tentu tak mudah. Mungkin karena itulah ada yang bilang kalau pada akhirnya, keputusan hanyalah keputusan, tak ada benar-salah, semua netral. Semacam menghibur diri sendiri. Tetapi, kupikir, penting juga untuk tetap melihatnya secara objektif sebagai kesalahan. Menghadapinya terang-terangan, lalu menerimanya sebagai bagian dari hidupku. Sebagai bagian tak terpisahkan dari diriku yang saat ini, yang telah belajar, bertumbuh dari kesalahan itu. Lagipula, bukankah manusia diberikan akal untuk bisa membedakan mana yang benar dan salah?
Di akhir cerita, Towako berkata pada Hassaku bahwa ia bersyukur pernah jatuh cinta, pernah menikahi, dan masih menyayangi Hassaku meski tak lagi terkungkung dalam bentuk pernikahan. Ia menerima kesalahannya sendiri di masa lalu sebagai bagian dari hidupnya di masa kini. Bukan saja karena ada Uta di antara mereka, tapi karena kini ia bisa memilih: antara mengejar fantasi akan pernikahan nircela berasaskan “cinta” dengan laki-laki yang baru lagi, atau berdamai dan hidup bersama versi diri yang telah mencintai dirinya sendiri. Menerima segala kekurangan dan kesalahan diri sendiri, menyamankan diri dengan kenyataan.
Towako menyadarkan aku. Aku juga perlu mengakui bahwa aku pernah membuat keputusan yang salah dan menerima kesalahanku sendiri sebagai hal yang wajar. Hal yang manusiawi. Mengakui sepasang anak kembar kami yang meninggal segera setelah lahir sebagai ikatan tak kasat mata di antara kami yang tak akan pernah putus. Bahwa takdir kami pernah terpaut. Bahwa keputusannya meninggalkan aku adalah keputusan yang tepat, yang akhirnya memberi jalan bagiku untuk menemukan diriku sendiri.
Aku bersyukur karena pernah menikahinya dan bercerai dengannya. Karena tanpa itu semua, aku tak bisa memiliki hidupku yang saat ini, bersama mereka yang ada dalam hidupku saat ini.
situs slot situs slot gacor toto macau togel online togel resmi situs bandar togel bandar togel situs slot bandar togel bandar togel toto macau 4d bandar togel bandar togel toto slot situs toto toto macau 5d