Ubud kini tak lagi sehening dulu. Kafe-kafe dan butik-butik trendi telah bermunculan di sudut-sudut kota kecil itu layaknya jamur di musim hujan. Akan tetapi, di tengah riuhnya turis yang celingak-celinguk mencari arah di Jalan Raya Ubud, sebuah gapura megah masih berdiri, menjadi batas antara ruang kota yang bergerak cepat menuju modernitas dengan ruang gerak tradisi yang menjadi semakin terbatas.
Gapura itu adalah penanda masuk ke kompleks Museum Puri Lukisan. Usianya kini telah melebihi enam dekade. Seperti namanya, ‘puri’, kompleks bangunan ini memang lebih tepat jika disebut istana daripada museum atau galeri. Setelah melewati gapura megah yang hampir tanpa henti digunakan sebagai latar foto oleh para turis swafoto, pengunjung disambut sebidang luas taman yang dihiasi tak hanya tetumbuhan dan kolam-kolam lotus, tapi juga beragam patung dewa-dewi Hindu.
Empat ruang pamer terletak di sudut-sudut kompleks bangunan. Bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung, menikmati koleksi dalam museum ini memang lebih baik dilakukan berurutan seperti yang disarankan dalam lembar panduan pengunjung. Mulailah dari Galeri Pitamaha di pojok utara kompleks, di mana koleksi-koleksi tertua museum ini ditempatkan. Salah satunya adalah Adi Parwa, dibuat tahun 1678, yang bercerita tentang Bima saat bertapa ke Gunung Manaka.
Yang menarik, ada setidaknya dua lukisan yang memiliki fungsi praktis. Naga Anantaboga, dibuat tahun 1799, adalah secarik umbul-umbul, sedangkan Lelintangan, yang tidak diketahui tahun pembuatannya, digunakan sebagai pedoman pertanggalan Bali. Pertanggalan dalam Lelintangan ini digunakan untuk mengetahui nasib dan riwayat hidup. Keduanya seolah menjadi bukti yang kuat bagaimana seni adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Bali, bukan sekadar pelengkap atau penghibur. Seni bisa ditempatkan secara praktis sebagai bagian dari sebuah ritual, juga menjadi cara para tetua meneruskan kebijaksanaan kepada generasi selanjutnya.
Ruang pamer di pojok barat menaungi koleksi-koleksi Ida Bagus Made, pelukis legendaris Bali, sedangkan bagi yang menggandrungi cerita-cerita wayang, dapat langsung menyambangi ruang Galeri Wayang di timur. Galeri yang terakhir tak kalah menarik dari ketiga ruang pamer lainnya. Bangunan yang terletak di pojok selatan ini biasanya menjadi tempat diadakannya ekshibisi temporer atau dipamerkannya koleksi terbaru museum.
Terakhir kalinya saya berkunjung ke sana, sedang diadakan pameran hasil karya para pelukis dari Banjar Keliki Kawan. Corak lukisan mereka ditandai oleh detail-detail berukuran miniatur dan lapisan-lapisan gambar yang tersusun vertikal untuk menampakkan kedalaman dimensinya, yang tertuang pada medium berukuran relatif kecil.
Lukisan Bali Kini karya I Wayan Sugita menegakkan bulu kuduk saya. Lapisan terluarnya, dalam warna-warna yang terang, menggambarkan sebuah acara tarian tradisional Bali. Akan tetapi, orang-orang yang mengelilingi para penari berpakaian modern–dengan tank top dan celana pendek. Sebagian menyingkap kain para penari, mengintip kaki-kaki jenjang mereka. Sebagian lagi menenggak minuman dalam botol, bercinta, dan menari dengan gerakan-gerakan yang mudah ditemukan di bar dan klub malam. Di bagian yang lebih gelap dan tersembunyi, ada orang-orang dengan pakaian adat Bali, menegakkan poster-poster bernada protes: “Kembalikan Baliku padaku!”
Apakah penggambaran itu terasa familier bagi Anda? Jika ya, mungkin sudah saatnya menimbang-nimbang kembali destinasi wisata Anda di Bali. Mari mengingat kembali bahwa Bali bukan cuma tentang pantai, apalagi hanya tentang ingar-bingar pesta. Bali adalah tentang budaya. Bali adalah tentang seni.