Tari dan Arsitektur dalam Dance City, Density!

Tak ada panggung. Penonton berkumpul di sebuah sudut, di sebelah kiri pintu masuk galeri NuArt Sculpture Park, dekat patung kuda berjudul Rebellious. Ada yang berdiri, ada yang berjongkok, ada yang duduk seadanya di lantai batu, mengitari sebuah taman kecil yang minim cahaya. Seorang penari berjalan-jalan di antara pepohonan yang menjulang di taman itu, seakan terkesima. Kemudian, satu per satu penari lain bermunculan dari balik pepohonan.

Empat penari berlari menaiki undakan tanah dengan susah payah untuk kemudian tergelincir kembali ke bawah. Jatuh bergulingan di tanah, menabrak pohon-pohon yang ada di sekitar mereka, untuk kemudian bangkit dan kembali berlari. Serangkai gerakan itu dilakukan terus menerus, bahkan dengan tempo yang semakin cepat, seolah menggambarkan suatu usaha yang dilakukan terus-menerus dengan penuh kesungguhan. Di baris kedua dari batas “panggung” yang ditetapkan penyelenggara, tercium bau rumput dan tanah basah sehabis hujan yang menguar dari persinggungan antara para penari dengan sebidang tanah di taman itu.

Hujan memang belum lama berhenti ketika pertunjukan dimulai. Dan hujan menjadi faktor yang menguntungkan untuk memperkuat suasana dalam tari kontemporer berjudul Rotasi karya I Made Tegeh Okta Maheri dari Bali–meski mungkin tidak masuk dalam perencanaan. Tanpa hujan pun, deretan pohon, gelap malam, dan udara dingin Bandung sudah membangun suasana mistis dalam karya pembuka pada pementasan tari bertajuk Dance City, Density!, yang diselenggarakan pada Selasa malam, 9 Agustus 2016.

Rotasi tidak menjadi satu-satunya karya yang ditampilkan dalam pertunjukan malam itu. Ada lima karya lain yang dipentaskan di titik lokasi yang berbeda-beda dalam wilayah NuArt Sculture Park (NSP). Keenam karya tersebut merupakan presentasi hasil lokakarya tari kontemporer berbasis tradisi yang diselenggarakan oleh Sasikirana dan NuArt.

Merespons Arsitektur Dengan Tari

Dance City, Density! menggunakan format site-specific performance. Artinya, pertunjukan diciptakan sebagai respons atas lokasi di mana ia dilangsungkan. Dan NSP, yang dipilih sebagai lokasi pementasan, bukanlah sekadar sebuah galeri seni. Seluruh elemen di dalam wilayahnya–bangunan galeri, lanskap, hingga patung-patung karya seniman Nyoman Nuarta–memang dirancang sebagai karya seni yang berjalinan. Bentuk arsitekturnya yang dinamis menciptakan beragam pengalaman visual bagi dan memicu respons dari pengguna ruangnya.

Seluruh karya yang ditampilkan malam itu memanfaatkan kontur dan arsitektur bangunan sebagai pengganti ketiadaan panggung. Jika Rotasi menggunakan sebuah sudut taman sebagai ruang pementasan, Connect/Disconnect karya Mohammad Asri bin Razali (Singapura) menggunakan selasar di samping kanan bangunan galeri. Tagaliciak dari Siska Aprisia (Padang) dan Wasilah dari Ridwan Aco (Makassar) sama-sama menggunakan amphitheater, namun pada titik yang berbeda. Tagaliciak menggunakan area bangku penonton, sedangkan Wasilah menggunakan area panggung sebagai ruang pementasan.

Instalasi Tali oleh Rubiadhi Roesli. Foto oleh Masrul Arief.
Instalasi Tali oleh Rubiadhi Roesli. Foto oleh Masrul Arief.

Selain bangunan galeri dan lanskap, terdapat juga instalasi tali karya Rubiadhi Roesli yang terdiri dari tujuh bangunan bersiku dan terbuat dari tambang putih. Instalasi tersebut direspons oleh Ruki Daryudi (Tanjung Pinang) sebagai layar perahu dalam karya berjudul Gelombang, menampilkan kehidupan para pelaut yang erat dengan gelombang.

Penciptaan respons terhadap arsitektur sebuah lokasi tidak cukup dilakukan dengan menjadikannya latar dan properti, tetapi juga menciptakan gerak dan gagasan yang terbangun karenanya. Sehingga, pemaknaan sebuah site-specific performance sebagai karya seni tidak terbatas pada obyek fisik yang menjadi stimulusnya. Sebuah karya, terutama tari kontemporer, dapat menjangkau makna yang jauh lebih luas dan mengandung gagasan serta kritik terhadap berbagai fenomena sosial.

Dalam Connect/Disconnect, lima orang penari melakukan gerakan berjalan lalu lalang dalam sebuah selasar yang sempit. Karya ini dengan baik merepresentasikan fungsi selasar sebagai ruang perpindahan antara satu ruang dengan yang lainnya. Seiring berjalannya waktu, ritme gerak para penari semakin cepat. Gerakan pun berubah dari berjalan menjadi berlari hingga meloncat, menjadi cerminan gerakan manusia urban yang serba terburu-buru. Meski berlari dengan cepat pada selasar sempit yang berundak-undak, mereka tak pernah terjatuh maupun bertubrukan satu sama lain. Seakan menampilkan manusia-manusia yang menghidupi sebuah ruang namun tak terkoneksi dengannya, maupun dengan penghuni lain di dalamnya.

Connect/Disconnect. Foto oleh Kadhan Ruskanda.
Connect/Disconnect. Foto oleh Kadhan Ruskanda.

Hingga pada suatu titik, koneksi visual mereka dengan ruangnya terputus–ditandai dengan selembar kain putih yang menutupi mata para penari. Dengan mata tertutup, gerakan mereka menjadi lebih hati-hati, tak lagi tergesa-gesa. Manusia-manusia urban yang awalnya bergerak cepat dalam ritme konstan, akhirnya bergerak perlahan dalam keterbatasan. Meraba-raba untuk mengenali batas-batas ruangnya dan membangun kembali koneksi dengan dunia yang dihidupinya.

Ruang Bersama Penampil dan Penonton

Ciri lain sebuah site-specific performance adalah leburnya batas antara penampil dan penonton. Dengan ketiadaan panggung, penampil berbagi ruang yang sama dengan penonton sehingga dapat membuka kesempatan akan adanya interaksi antara penonton dengan penampil dan karyanya.

Salah satu penciptaan ruang bersama antara penampil dan penonton bisa dirasakan saat menyaksikan Teror karya Tyoba Armey (Bandung). Pada sebuah bidang tanah berumput, dilatarbelakangi pepohonan dan diiringi suara gergaji mesin, Teror melambangkan kekacauan yang ditimbulkan oleh penebangan liar dan kebakaran hutan. Sebidang tanah ini terletak lebih tinggi namun memiliki persamaan dengan area penonton, yaitu pepohonan menjadi latar belakang, namun tidak mengisi ruang sehingga penonton berada di suasana gersang yang sama dengan yang disimbolkan oleh penampil.

Keterlibatan penonton secara aktif dapat dirasakan ketika berpindah tempat untuk menyaksikan keseluruhan enam karya dalam Dance City, Density! yang dipentaskan di titik-titik lokasi berbeda. Karena adanya pergerakan itu, penonton memiliki kebebasan untuk memilih sudut maupun jarak pandang sendiri,  bahkan bergerak mengubahnya di tengah menonton pementasan, sehingga dapat menciptakan pengalaman berbeda.

Gelombang. Foto oleh Kadhan Ruskandar.
Gelombang. Foto oleh Kadhan Ruskanda.

Saat menyaksikan Gelombang, misalnya, penonton dalam jarak dekat mungkin dapat mengalami gerak dan suara penari dengan lebih baik. Namun, karena ruang pementasan yang berbentuk memanjang, penglihatan periferal penonton akan terbatas. Keterbatasan ini menciptakan hal-hal yang tidak terdengar atau terlihat, sehingga membentuk beragam pembacaan dan apresiasi, yang pada akhirnya memberi kendali lebih kepada penonton untuk lebih aktif mengalami dan memahami sebuah karya. Sayangnya, selain dalam bentuk itu, tidak ada lagi ruang bagi penonton untuk terlibat lebih jauh ke dalam karya-karya.

Tahun lalu, Sasikirana dan NuArt telah menyelenggarakan rangkaian kegiatan serupa bernama Sasikirana Dance Camp. Namun, berbeda dengan tahun sebelumnya, terdapat materi khusus yang berfokus pada penciptaan tari kontemporer di lokakarya tahun ini sehingga nama kegiatan ini menjadi Sasikirana KoreoLAB & Dance Camp (SKDC). Telah terpilih enam penata tari dan 25 penari dari lima negara yang menjadi bagian dalam kegiatan ini. Selama sembilan hari mereka mendapat bimbingan dari mentor Arco Renz (Belgia), Faturrahman bin Said (Singapura), Hartati dan Eko Supriyanto (Indonesia).

Sesaat sebelum acara dimulai, Keni Soeriaatmadja, pemimpin produksi SKDC, menyampaikan dalam kata sambutannya bahwa pementasan malam itu merupakan sebuah embrio, ketimbang sebuah karya akhir. Enam karya yang tampil diharapkan masih bisa berkembang di waktu yang akan datang.

Tentu, akan sangat menarik jika karya-karya itu bisa dikembangkan dengan mempertahankan format site-specific performance sehingga membuka ruang yang lebih besar bagi penonton untuk berinteraksi dengan penampil dalam sebuah ruang bersama. Dan tentu, akan sangat membahagiakan jika bisa dipertunjukkan kembali di kota ini. Sudah waktunya Bandung memiliki lebih banyak alternatif pertunjukan seni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *