Diskusi Tentang Kota yang (Katanya) Kreatif

Tidak banyak acara diskusi di Bandung. Maaf, ralat. Tidak banyak acara diskusi yang menarik perhatian saya di Bandung. Maka, ketika tahu bahwa ada sebuah acara diskusi berjudul “Apanya Kota Kreatif?” di Spasial, Bandung, bulan Desember lalu, saya memberanikan diri untuk datang.

Judul diskusinya provokatif, setidaknya menurut saya. Hati kecil saya seakan berteriak, “Akhirnya ada juga yang bertanya hal yang sama dengan saya!” Atau jangan-jangan, sebenarnya banyak warga (kreatif) Bandung yang punya pertanyaan sama di dalam hati, namun diam-diam saja karena Bandung sudah keburu resmi bergabung di UNESCO Creative City Network sebagai kota desain atau putus asa duluan berhubung sudah dipimpin arsitek–yang notabene adalah salah satu pelaku industri kreatif–tapi masih begini-begini saja.

Diskusi itu sekaligus juga menjadi kali pertama saya menginjakkan kaki ke Spasial bukan untuk membeli kopi. Jauh, jauh, jauuuuh di dalam lubuk hati–selain bertanya-tanya tentang ke-kreatif-an kota ini–saya juga merasa geumpeur untuk masuk ke salah satu ruang komunitas yang sedang hip di Bandung ini. Alasannya? Satu, saya merasa ketuaan. Dua, saya merasa tempat itu agak eksklusif, menilai dari tatapan mata manusia-manusia di sana–yang saling kenal dan saling sapa satu sama lain–kepada saya.

Tapi ya, sudahlah. Saya sudah keburu jadi alien bagi semua tempat yang ada di Bandung–kecuali, mungkin, Toserba Griya di Jalan Pahlawan dan Stasiun Kereta Api di Kebon Kawung–berhubung hampir sembilan tahun saya meninggalkan kota ini. Jadi, saya pun menguatkan niat, berlatih senyum, dan memberanikan diri untuk muncul sebagai pengamat di sana.

***

Yang ada di belakang inisiatif diskusi ini adalah teman-teman dari Kolektif Agora, sekelompok anak muda pemerhati kota (dan kalau saya tidak salah, adalah mahasiswa jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota). Mereka menggunakan media daring dan diskusi sebagai corongnya. Ada tiga pemantik diskusi dari latar belakang berbeda yang mereka hadirkan malam itu.

Tita Larasati adalah pengajar di bidang desain dan baru saja dilantik menjadi Ketua Bandung Creative City Forum (BCCF). BCCF adalah sebuah organisasi lintas komunitas yang, menurut Tita, didirikan untuk membuat solusi kota dengan memanfaatkan kreativitas dan saat ini menjadi think tank dan pelaksana kebijakan-kebijakan kota yang bernada kreatif. Organisasi ini juga yang ada di belakang tim sukses Bandung saat mencalonkan diri untuk masuk ke jejaring kota kreatif UNESCO tiga tahun lalu. Ketua BCCF pada periode pertama pendiriannya adalah Ridwan Kamil. Ketua periode kedua, Tb. Fiki Satari, kini menjadi Ketua Indonesia Creative City Network.

Pemantik kedua adalah Ardo Ardhana, salah satu pendiri dan pengelola Spasial, tempat diskusi diadakan. Ardo sudah malang melintang di skena kreatif Bandung sebagai pekerja seni sejak awal 2000-an. Yang ketiga adalah Fikri Zul Fahmi, dosen program studi Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB), sedangkan moderasi diskusi dilakukan oleh Panca Dwinandhika Zen, seniman tato dan pemerhati skena kreatif Bandung.

Awalnya, diskusi berjalan suam-suam kuku dengan obrolan utara-selatan yang santai khas anak-anak Bandung. Pembicaraan meloncat-loncat dari pandangan Ardo mengenai adanya kecenderungan pengeksklusifan diri oleh kalangan kaum kreatif, ke perdebatan oleh Tita dan Fikri mengenai apakah tradisi lokal dapat terus berjalan beriringan dengan kreativitas–yang identik dengan modernitas dan pemikiran-pemikiran di luar pakem, ke pemaparan Tita mengenai bagaimana BCCF mendorong ekosistem kreatif di Bandung untuk menjangkau sudut masyarakat di luar lingkaran kreator, hingga kekukuhan Fikri bahwa “kota kreatif” sebenarnya sekadar alat untuk mencapai tujuan kota dan bukannya tujuan kota itu sendiri.

Ardo yang terbiasa dengan gerakan komunitas punya titik perhatian yang spesifik pada individu-individu kreatif di Bandung dan tidak terlalu mempermasalahkan hal-hal bersifat strategis. Malam itu ia mengungkapkan keresahannya mengenai pelabelan “kreatif” yang menurutnya malah bisa menimbulkan kesenjangan antara “kaum kreatif” dengan masyarakat lain. Menurutnya, yang penting adalah orisinalitas, dan orang-orang yang disebut kreatif itu sebenarnya sekadar orang yang konsisten melakukan apa yang dia suka dengan sentuhan orisinalitas itu.

Tita, di sisi lain, memandang bahwa aktivisme bersifat kreatif sudah saatnya dibawa ke tataran formal, yaitu ke tingkat pemangku kebijakan. Ia memaparkan apa-apa saja yang sudah dilakukan oleh BCCF selama hampir sepuluh tahun kehadiran mereka di Bandung. Beberapa program yang terbaru adalah pengembangan kreativitas masyarakat buruh tekstil dan pembuatan tengaran airborne.bdg sebagai branding kota.

Fikri, di sisi yang lain lagi, cenderung menihilkan label “kota kreatif”. Menurutnya, “creative city” tak ubahnya dengan jargon-jargon lain seperti “smart city” atau “sustainable city”, yang akan bergerak sesuai dengan perkembangan tren dunia. Maka, yang penting bukan diiyakannya narasi kota kreatif oleh seluruh warga (dan disalinnya kerangka kota kreatif yang dicontohkan Bandung oleh kota-kota lain di Indonesia), tetapi strategi pemerintah untuk mencapai kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup warganya.

***

Diskusi mulai memanas ketika sesi pertanyaan dimulai. Saya hanya menyorot beberapa yang mewakili pertanyaan saya, berhubung saya sendiri tidak kebagian giliran untuk bertanya. Mungkin tidak terlihat oleh moderator karena saya duduk agak ke pinggir.

Salah seorang yang hadir menyetujui pandangan Ardo mengenai pengeksklusifan yang, sengaja atau tidak sengaja, muncul di skena kreatif Bandung. Seperti saya, dia juga merasakan semacam keengganan untuk masuk ke Spasial karena adanya kesan eksklusif. Ironis, menimbang ide awal Ardo mendirikan Spasial adalah justru untuk mewadahi berbagai bentuk ide kreatif tanpa kuratorial yang ketat.

Si penanggap juga melontarkan keresahan mengenai diresmikannya nomenklatur “kota kreatif”, baik oleh pemerintah daerah dan negara maupun organisasi internasional seperti UNESCO. Melembaganya kata “kreatif” dikhawatirkan malah meredam letupan-letupan kreatif baik secara individu maupun di kantong-kantong komunitas.

Fikri menanggapinya secara normatif. Menurutnya, pemerintah harus membuka akses dan menghadirkan mekanisme agar pihak-pihak di luar pemerintah dapat bertukar ide dengan leluasa. Tita sendiri berkukuh bahwa program-program yang dilaksanakan BCCF sudah mengakomodasi pemberdayaan kreativitas kepada masyarakat umum dan sudah melewati proses penelaahan untuk memastikan bahwa program-program itu menciptakan dampak di masyarakat, salah satunya melalui kegiatan Design Action.

Seorang yang lain melontarkan pertanyaan menarik: berapa lama hype “kota kreatif” akan bertahan? Fikri menjawab, bertahannya “kota kreatif” akan mengikuti gelombang ekonomi dunia, seperti bagaimana dulu manufaktur membawa modernisasi dan menciptakan peradaban baru. Di negara berkembang, menurut Fikri lagi, mungkin akan sulit bertahan karena kurangnya perhatian pada proses riset dan pengembangan.

Beberapa pertanyaan lain seperti hubungan kota kreatif dengan konsumerisme, indikator keberhasilan kota kreatif, dan inti permasalahan dari diskusi malam itu sendiri–manfaat yang utuh dari kota kreatif bagi seluruh warganya–belum mendapat jawaban yang memuaskan. Ardo sendiri melontarkan pertanyaan untuk Tita dan Fikri mengenai pengelolaan Bandung sebagai kota kreatif: siapa yang akan lebih banyak mengawal dan mengisi wacana kreativitas di Bandung, akademisi atau pemerintah?

***

Ada beberapa hal dari diskusi ini yang menjadi renungan saya. Yang pertama adalah terbentuknya dua sudut pandang pembentukan kreativitas yang terjadi saat ini di Kota Bandung, dan mungkin juga kota-kota lainnya di Indonesia seiring dengan geliat ekonomi kreatif yang didorong pemerintah. Ada yang terbentuk secara organik dan yang terbentuk melalui kebijakan pemerintah.

Dengan didengungkannya ekonomi kreatif sebagai salah satu strategi pemerintah, wajar jika apa yang dulu berasal dari akar rumput kemudian dilembagakan di tataran kebijakan. Akan tetapi, “kaum kreatif” Bandung yang sedari dulu terbiasa dengan gerakan bawah tanah dan inisiatif komunitas menjadi tak nyaman dengan jarak yang semakin sempit antara mereka dengan pemerintah. Mungkin, tak jauh berbeda dengan perasaan jengah saat harus bertempelan badan dengan orang asing di angkutan umum. Lebih buruk lagi, sebagian mungkin merasa bahwa ruangnya diinvasi oleh pemangku kebijakan, yang dianggap tak betul-betul mengerti tentang kreativitas karena tidak benar-benar hidup di dalamnya.

Ini berbeda dengan, misalnya, di Jakarta. Di sana, jarak antara pelaku dunia kreatif dan pemerintah tidak terlampau jauh. Salah satu contohnya adalah Dewan Kesenian Jakarta, yang meski otonom, tetap bermitra dengan pemerintah. Dan meski bermitra dengan pemerintah, masih terhubung dengan “kaum kreatif” di akar rumput maupun masyarakat umum sekalipun.

Selanjutnya, mungkin sejatinya Bandung bukan “kota kreatif”, hanya saja dihidupi oleh “kaum-kaum kreatif”. Menurut saya, ada konsekuensi yang dibawa oleh jargon “kota kreatif”, yaitu segala hal yang serba terstruktur dan strategis. Sebagai kota, sebagai sebuah entitas yang dibentuk secara hukum dan memiliki instrumen pengelola, yang memiliki berbagai jenis warga dengan berbagai jenis kepentingan dan keinginan, tentu membutuhkan suatu keteraturan dan perencanaan untuk mencapai tujuan.

Sialnya, kebanyakan warga Bandung itu tidak suka diatur-atur. Hirup aing, kumaha aing. Juga tidak suka berencana terlalu strategis. Kumaha isuk we lah. Tapi mungkin, malah ketidakpastian, ketidakberencanaan ini yang membuat warga Bandung terkesan kreatif. Nah, pertanyaannya, masih perlukah kreativitas dilembagakan oleh pemerintah kota?

Yang terakhir, pernyataan Fikri mengenai “kota kreatif” sebagai respons terhadap gelombang ekonomi global cukup menghantui saya. Selain itu, Fikri juga mengemukakan bahwa sesuatu yang kita anggap kreatif hari ini, bisa saja menjadi tradisi dalam sepuluh tahun ke depan. Ini, menurut saya, bukan cuma masalah tren ekonomi. Kreativitas dan kebudayaan punya hubungan kompleks yang saya belum berani definisikan di sini. Keduanya bukan benda, tak bisa dimiliki oleh satu pihak saja, merupakan proses dinamis yang bertumbuh bersama peradaban manusia, dan saling memengaruhi.

Betul, mungkin tren ekonomi kreatif ini akan kehilangan pamor dalam beberapa tahun lagi. Betul, pada akhirnya hasil-hasil kreativitas itu bisa menjadi bagian kebudayaan, tradisi, ataupun norma. Akan tetapi, kreativitas bisa jadi akan tetap ada–atau sudah seharusnya tetap ada–sebagai sebagai salah satu cara manusia mengembangkan peradabannya. Sehingga, sebelum lebih lanjut mempertanyakan manfaat yang utuh dari suatu kota kreatif, saya pun kembali ke pertanyaan: apa definisi dan pelembagaan terhadap istilah-istilah seperti “kota kreatif” atau “kaum kreatif” itu masih diperlukan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *